- Back to Home »
- MAHABBAH DAN MA'RIFAH
Posted by : Unknown
Selasa, 25 November 2014
MAHABBAH DAN MA'RIFAH
BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
“Mahabbah” adalah cinta, atau cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat,tahapan
menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan, perenungan, pelatihan
spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga tahap cinta adalah tahap
tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya. Didalamnya kepuasan hati
(ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns).
Sedangkan
Ma’rifah ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu
tasawuf “Ma’rifat” adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari
dapat melihat Tuhan”. Menurut shufi jalan untuk memperoleh ma’rifah ialah
dengan membersihkan jiwanya serta menempuh pendidikan shufi yang mereka namakan
maqamat, seperti hidup zuhud, ibadah dan barulah tercapai ma’rifat.
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang
Mahabbah dan Ma’rifah beserta tujuan, kedudukan, paham, tokoh sufi,serta
mahabah dan ma’rifah dalam pandangan al-Qur’an dan al hadits, Maka jika ada
kesalahan yang sekiranya di luar kesadaran, kami siap menerima kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sekalian.
- RUMUSAN MASALAH
A ) Apakah pengertian dari Mahabbah dan Ma’rifah ?
B ) Apakah tujuan dan kedudukan Mahabbah
dan Ma’rifah menurut paham tokoh sufi ?
C ) Bagaimanakah Mahabbah dan
Ma’rifah menurut pandangan al-Qur’an dan al- Hadits ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MAHABBAH DAN MA’RIFAH
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Dalam Mu'jam
al-Fal-safi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd,
yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni
yang sangat kasih atau penyayang. Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur,
suci dan tanpa syarat kepada Allah[1].
Setelah membentuk kepribadian manusia maka mahabbah akan mempengaruhi kualitas
keimanan seseorang. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Artinya: “Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah 165).
Pengertian
Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat
yang artinya pengetahuan dan pengalaman, serta pengetahuan tentang rahasia
hakikat agama. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal
yang bersifat zahir, tetapi bathin dengan mengetahui rahasianya. Para sufi mengatakan perihal Ma’rifat adalah :
1.
Kalau mata dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup
dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.
Makrifat adalah cermin, yang mana yang dilihatnya hanyalah Allah.
3.
Yang dilihat orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4.
Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan
mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya.
Dikemukakan
al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, karena ma’rifat lebih mengacu
pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan. Disebutkan dalam
sebuah Hadits Qudsi :
كنت
خزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعر فت اليهم فعرفونى"”
“Aku
(Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka aku ciptakan mahluk. Maka Aku memperkenalkan
DiriKu kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku” (Hadits Qudsi)
Dalam
kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah
puncak dari seluruh maqam spiritual dengan derajad/level yang tinggi.
"(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. Ma’rifat merupakan
karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali tidak bergantung
pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan. Ma’rifat adalah anugerah Allah yang
didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah sebagai persembahan
hamba kepada Tuhannya.
Adapun
cara-cara untuk dapat menuju Mahabbah dan Ma’rifat adalah :
1.
Tobat, baik dari dosa besar maupun dosa kecil
2.
Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari dunia ramai
3.
Wara (sufi), mencoba meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat shubhat
4.
Faqir, hidup sebagai orang fakir
5.
Sabar, dalam menghadapi segala macam cobaan
6.
Tawakkal, menyeru sebulat-bulatnya pada keputusan Tuhan
7.
Ridha, merasa senang menerima segala takdir.
B. TUJUAN DAN KEDUDUKAN MAHABBAH
DAN MA’RIFAH
Al-mahabbah
dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan
untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada
tingkat selanjutnya berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk
mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak,
yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada
Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara ruhiah pada Tuhan.
Ma'rifah
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi
lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini
didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan yang satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya
ma'rifah digunakan untuk menunjukan salah satu tingkatan dalam tasawuf. Al-Ghazali[2]
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma'rifah tentang Tuhan, yaitu arif,
tidak akan mengatakan ya Allah atau ya rabb karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di bekalang tabir. Tujuan
ma’rifat adalah berhubungan dengan Allah, dengan kendali jiwa kepada
eksistensinya yang intern, wasilahnya adalah spiritual.
Keutamaan
mahabbah dijelaskan Rasul dalam haditsnya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik
r.a: Seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah
s.a.w: Bilakah berlakunya Kiamat? Rasulullah s.a.w bersabda: Apakah persediaan
kamu untuk menghadapinya? Ia menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai”.Selain
itu Mahabbah dapat mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan tersebut di
antara penghuni langit. Sebab para malaikat akan selalu mencintai orang-orang
yang dicintai oleh Allah atas kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka
selalu memenuhi perintah Allah”.
C. PAHAM MAHABBAH DAN MA’RIFAH
MENURUT TOKOH SUFI
Paham
mahabbah (al hubb) pertama kali diperkenalkan oleh Rabiah Al Adawiyah[3],
Paham Mahabbah dan Ma’rifah menurut Tokoh Sufi adalah :
-)
Menurut Abu Yazid al Bustami,"Cinta
adalah mengabaikan hal-hal yang datang dari diri, dan memandang besar hal-hal
sekecil apapun dari kekasihnya". [4]
-)
Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
1.
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan Tuhan serta senantiasa memuji Tuhan.
2.
Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang
kenal kepada Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain yang
mana hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3.
Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang
tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri
yang damai.
-)
Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda
cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, bahkan ia melupakan dirinya
sendiri.[5]
Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an,:
(
الما ئدة : 54 ).فَسَوْفَ
يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya”.
Juga
hadits yang menyatakan:
وَلاَ
يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ
اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“Hamba-hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta
padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.[6]
-)
Cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1.
Cinta Ilahiyah: cinta khaliq kepada makhluk yang diciptakan, dan cinta makhluk
kepada khaliqnya.
2.
Cinta spiritual: cinta makhluk yang senantiasa mencari wujud Penciptanya. tidak
memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain sang kekasih.
3.
Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya
sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
Sufi pertama yang menonjolkan konsep
Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Zunnun al-Misri.[7]Ia
pun pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di
hadapan Khalifah al-Mutawakkil.[8]
Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
عرفت ربّى بربّى ولو لا ربّى لما عرفت ربّى
""
“(Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan
sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku)”.[9]
Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan hasil usahanya sebagai
sufi, tetapi anugerah Tuhan baginya. Ma’rifah tidak diperoleh melalui pemikiran
dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat
adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya. Zunnun membagi
Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:
1-Tingkat
awam. “mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat”.
2-Tingkat
Ulama.” yang mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran
akal”.
3-
Tingkat Sufi. “ yang mengetahui Tuhan melalui hati sanubari”.
Istilah
Tasawwuf menurut beberapa Ulama Tasawuf antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf
"المعرفة
جزم القلب بوجود الواجب الموجود متّصفا بسائر الكلمات"
:“Marifat adalah
ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah)
yang menggambarkan segala kesempurnaannya.” [10]
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib
As-Saamiriy yang mengatakan:
"المعرفة
طلوع الحقّ, وهو القلببمواصلة الانوار"
“Ma’rifat
adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi) dalam keadaan hatinya selalu
berhubungan dengan Nur Ilahi”[11]
c.
Imam Al-Qusyairy dari Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah:
"المعرفة
يوجب السكينة فى القلب كما انّ العلم يوجب السّكون, فمن ازدادت معرفته ازدادت
سكينته"
“Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma’rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).”[12]
keterangan
Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh
Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya ma’rifat dalam segala sikap dan perilakunya.
b.
Tidak memutuskan berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang
nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak bagi dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram.
Begitu
rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka
ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a.
Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan
berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT saja.
b.
Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
c.
Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan yang diliputi
rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga
membawa pada kelupaan dirinya.[13]
D.
MAHABBAH DAN MA’RIFAH DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
Tentang Mahabbah dapat dijumpai di
dalam Al-Qur’an antara lain :
A.Surat
Ali Imran ayat 31 :
قل
ان كنتم تحبّون اللّه فاتّبعونى يحببكم اللّه و يغفر لكم ذنوبكم و اللّه غفور
رحيم.( ال عمران : 31 )
Artinya
: Katakanlah : “ jika kamu ( benar-benar ) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan menggampuni dosa-dosamu“. Allah Maha pengasih lagi
Maha penyayang”.
B.Surat
Al-Ahzab ayat 4 :
ما
جعل اللّه لرجل من قلبين فى جو فه ( الأحزاب : 4 )
Artinya
: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya
“. ( QS. Al–Ahzab : 4 )
C.Surat
Al-Anam ayat 91 :
قل
اللّه ثمّ ذرهم فى خوضهم يلعبون ( الأنعام : 91)
Artinya
: Katakanlah : “Allahlah ( yang menurunkan )”, kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka ) biarkanlah mereka bermain-main dlam
kesesatannya”. ( QS. Al-Anam : 91 )
D.surat
Fussilat ayat 30 :
انّ
الّذين قالوا ربّنا اللّه ثمّ استقاموا ( فصلت : 30 )
Artinya
: Barangsiapa mengucpkan “ la ilaha illa Allah “ secara ikhlas, dia
masuk surga”.
E.
Surat Ibrahim ayat 24 :
ضرب
اللّه مثلا كلمة طيّبة كشجرة طيّبة اصلها ثابت و فرعها فى السماء ( ابرهيم :24 )
Artinya
: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik,akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.(QS. Ibrahim : 24)
F.
Surat Fatir ayat 10 :
االيه
يصعدالكلم الطيّب ( فاطر : 10 )
Artinya
: “ Kepada –Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik “.( QS. Fatir: 10 )
G.
Hadits Riwayat Abu Hurairah r. a :
من
احبّ لقاء اللّه أحبّ اللّه لقاءه، ومن لم يحبلقاءاللّه تعا لى لقاءه ( رواه
البخارى )
Artinya
: “ Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang bertemu
dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah, maka Allah pun juga
tidak senang bertemu dengannya”. ( HR. Bukhori )[14]
H.
Hadits Riwayat Anas bin Malik :
من
أهان لى وليا فقد بارزني بالمحاربة، وما تردّدت فى شئ كتردّدى في قبش نفس عبدى
المؤمن يكره الموت, وأكره مساءته, ملابدّ له منه, وما تقرّب إليّ من أداء ما
افترضت عليه, ولا يزال عبدي تقرّب إليّ با النوافل حتّى أ حبّه, و من أحببته كنت
له سمعا وبصراويداومؤيّدا.
Artinya
: “ Barangsiapa yang menghina wali-Ku ( kekasih-Ku ), sesungguhnya ia telah
terang-terangan memerangi-Ku. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan seperti
Keraguan-Ku ketika mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman. Dia benci kematian dan
saya tidak mau menyakitinya, sedangkan kematian itu pasti ada. Tidak ada
sesuatu yang paling Aku sukai yang bisa
mendekatkan hamba-Ku dengan-Ku lebih dari melakukan kewajiban yang Aku
perintahkan kepadanya. Dan senantiasa mendekati-Ku dengan melaksanakan
ibadah-ibadah sunat sampai Aku mencintainya. Dan barangsiapa yang telah Aku cintai, maka Aku mendengar,
melihat, menolong, dan mendukung-nya.”[15]
I.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
إذا
أحبّ اللّه عزّوجلّ العبد قال لجبريل : يا جبريل إنّي فلانا فأحبّه, فيحبّه جبريل,
ثمّ ينادي جبريل فىأهل السّماء: إنّ الله تعا لى قد أحبّ فلانا فأحبّوه, فيحبّه
أهل السماء, ثمّ يضع له القبول في الأرض. وإذا أبغض اللّه عزّوجلّ عبدا قال ما لك:
لا أحسبه إلاّ قال في البغض مثل ذلك.
Artinya
: “ Jika Allah telah mencintai hamba-nya, Allah berkata kepada Jibril a.s, “
Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mecintai fulan, maka cintai dia, Maka Jibril pun
mencintainya, Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia!
Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian Allah memberikan pengabulan
kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, maka Malaikat Malik
berkata, Saya tidak menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian
Allah kepadanya, “ ( HR. Imam Bukhari )[16]
E.
PENUTUP
Setelah
di raihnya maqam mahabbah tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari
mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat,
zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada
Allah). Dalam buku "Mahabbatullah" (mencintai Allah), Imam Ibnu
Qayyim menuturkan tahapanan menuju wahana cinta Allah berkaitan dengan amal,
yang tergantung pada keikhlasan kalbu, disanalah cinta Allah berlabuh. sebagai
refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan yang tercela dan
menjerumuskan kepada cinta selain Allah. Sudah menjadi sifat manusia, ia akan
mencintai orang baik, lembut dan suka menolongnya dan bahkan tidak mustahil ia
akan menjadikannya sebagai kekasih.
Ketertundukan
hati secara total di hadapan Allah, adalah bukti bahwa ma’rifat kepada Allah
juga tertanam dalam kalbu kita, berusaha mewujudkannya dalam setiap perbuatan,
ibadah dan merealisasikannya dalam kehidupan sehingga kita termasuk dalam
golongan ma’rifatullah.
Allah
tidak melarang bahkan memerintahkan HambaNya untuk mengenal diriNya, Ma’rifat
kepada Tuhan tidak bisa ditemukan meskipun dengan menyembahnya secara benar.
Ma’rifat ditemukan dengan cara larut dengan-Nya, melalaikan dunia secara total
dan terus-menerus berpikir tentang-Nya.
BAB
III
Kesimpulan
1-
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam.Pengertian Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan
tanpa syarat kepada Allah.
2-
Ma’rifah dari segi bahasa berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat
yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Ma’rifat adalah pengetahuan yang
objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam kepada
bathin, dengan mengetahui rahasianya.
3-
Tujuan Mahabbah adalah untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, Sedang Ma’rifah bertujuan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati sanubari.
4- Inti ajaran mahabbah adalah merupakan
sikap dari jiwa yang mengisyaratkan ke
pengabdian diri atau pengorbanan diri sendiri dengan cara mentransendenkan ego,
dan menggantinya dengan cinta.
5- Ma’rifah tidak diperoleh melalui
pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.
6- Pembahasan Mahabbah dan ma’rifah
dapat ditemukan dalam Ayat-ayat al-Qur’an al-Karim dan Hadits-hadits rasulullah
SAW.
DAFTAR
PUSTAKA
v Abul Qasim Abdul Karim hamazin Al
Qusyairi an Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Jakarta, Pustaka Amani, 1998
v Al-Buny, Djamaluddin Ahmad. Menelusuri
Taman-taman Mahabbah Shufiyah. Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2002.
v Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub. Bandung: Mizan, 1993.
v Amin Syukur, Tasawuf Sosial,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
v Amin, M. 10 Induk Akhlak Terpuji.
Kalam Mulia, 1997.
v Armstrong, Amatullah. Kunci Memasuki
Dunia Tasawuf. Bandung:
Mizan, 1996.
v H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf,
Pustaka Setia, Bandung,
2008
v H. Abudin Nata,
MA, Drs, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), 1996
v Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet XI
v Harun Nasution, Prof. Dr, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cetakan III
v IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu
Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984).
v Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)
v Musthafa, Abdul Aziz. Mahabbatullah
Tangga menuju Cinta Allah. Surabaya:
Risalah Gusti, 1996.
[1]
H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008
[2] bagi
al-Ghazali ma'rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena
mahabbah timbul dari ma'rifah. Tetapi Mahabbah disini tidak seperti yang
dimaksudkan Rabi’ah al Adawiyah. mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada
yang pemberi rahmat dan rizki.
[3]
Tokoh sufi wanita yang lahir di Basrah (95 H) dan wafat 185 H.
[4] Abul
Qasim Abdul Karim hamazin Al Qusyairi an Naisaburi, Risalah Qusyairiyah,
Jakarta,
Pustaka Amani, 1998.
[7] Tokoh
sufi yang lahir di Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M, “Zunnun” yang artinya
“Yang empunya ikan Nun”.
[14] Hadits
riwayat Ubaidah bin Shamit, dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar
Raqaqq” bab “ orang-orang yang senang bertemu Allah.
[15] Hadits dikeluarkan
oleh Ibnu Abu daud dalam bukunya, Al-Auliya’, Al-Hakim, Ibnu Marduwaih,
Abu Nua’im dalam Al-Asma’, dan Ibnu Aakir dari Anas.