- Back to Home »
- MAHABBAH MENURUT KONSEP TASAWUF
Posted by : Unknown
Selasa, 25 November 2014
Nah, ini dia salah satu tugas akhlak tasawuf saya. Ini hanya inti dari makalahnya aja. Semoga dapat membantu teman2 yaaaa.. :-bd
Nama : Desembri
Yesti Mistari
Kelas : PBI 3 A
Subject:
Akhlak Tasawuf
PENGERTIAN MAHABBAH
Mahabbah (cinta)
menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih
khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan
pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan
kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani
yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan,
yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau
cinta yang mendalam.[1]
Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.[2] Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang.[3]
Selain itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan
kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan
yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang
kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada
sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya
lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan
di atas, tampaknya da juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada Tuhan.[4]
Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi
adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan
disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini
sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.[5]
Menurut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun
intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1) Al-Ghazali; mahabbah ialah cinta kepada Allah itu adalah maqom
yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom yang
sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang sebelumnya. Ini
merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.[6]
2) Syekh Jalaluddin; mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat
penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran
melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan
syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta
inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran
syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang
dibenci Allah.[7]
Menurut Syekh Jalaluddin dalam kitabnya “Sinar keemasan”
yang menyatakan bahwa aku telah menyaksikan sendiri kasih sayang Tuhanku. Aku
telah merasakan kesucian cinta-Nya. Karena Ridha dan sayangnya dilimpahkan
nikmat-Nya kepadakau.[8]
Ucapan ini menunjukkan bahwa Syekh Jalaluddin mengaku telah sampai pada maqam
terakhir dan derajat yang paling tinggi di dalam suluknya, yakni maqam cinta
dan ridha bahkan telah syuhud (menyaksikan) kasih sayang Tuhannya dan merasakan
ridha-Nya atau dengan kata lain sebagai seorang salik telah sampai pada tujuan
terakhir yang disebut ma’rifat yang sesungguhnya.
3) Al-Palimbani; mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir
dari cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari
ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan
sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih pada Allah tatkala itu, membawa
kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah
Ta’ala.
4) Imam Qusyairi; mahabbah ialah kondisi yang mulia telah
disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah memperma’lumkan
cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt. disifati sebagai yang mencintai
hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan
al-Qusyairi sebagai berikut:
اَلْمَحَبَّةُ
حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ
مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ
الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ
Al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang
bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya
yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang
seorang hamba mencintai Allah SWT.[9]
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu
selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang
diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.[10]
Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang
tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan
al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin
mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.[11]
5) Harun Nasution; mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah
cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
a. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang
dikasihi, yaitu Tuhan.[12]
6) Al-Sarraj; mahabbah mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah
orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif.
a) Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah
dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam
berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
b) Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan,
pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang
dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat
kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya
sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan Selalu rindu
pada-Nya.
c) Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat
dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat
yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[13]
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses
mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya
melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana) pada sifat-sifat
Tuhan itu, dan akhirnya menyatukebal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari
ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh
mahabbah.
7) Abu Ali Dadaq; mahabbah ialah suatu sikap mulia yang
dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah memberitahukan bahwa
Dia mencintai hambaNya dan hambaNya pun harus mencintaiNya.[14]
8) Abu Ya’kub; hakekat mahabbah ialah lupa terhadap kepentingan
sendiri, karena mendahulukan kepentingan Allah swt.
9) Ibnu Qasim; mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan segala
kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk mencintai-Nya
untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati hanya mencintai yang sudah
dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan dirindukanNya. Ia merasa lapang karena
dekat diri kepadaNya. Jadi karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai
Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan karunia Allah swt.
10) Abdullah Tusturi; mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada
Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak
akan tertanam dalam hati, melainkan sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik,
sehingga ia selalu bertaubat kepadaNya.
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa
mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga
yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Tujuannnya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di
atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu
keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
Hal bertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia,
tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[15]
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik
dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka
mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh
jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh
karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam,
sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah
kepada Tuhan.[16]
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan
dengan tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut
sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah
tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah yang
dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan mahabbah
lebih tinggi dari ma’rifah.
ALAT UNTUK MENCAPAI MAHABBAH
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan di atas? Para
ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia.
Harun Nasution, dalam bukunya Falsafah dan Mistisis dalam Islam mengatakan,
bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir ( سرّ ).
Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan bahwa dalam
diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan
Tuhan. Pertama, al-qalb( القلب )
hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( الروح )
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga sir ( سر ), yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir
lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Kelihatannya sir
bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima
iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan
kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.[17]
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan
maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan
hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat
bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan
Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah
Tuhan. Allah berfirman:
وَيَسْئَلُوْ
نَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَااُوْتِيْتُمْ مِّنَ
االْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Mereka
itu bertanya kepada Engkau (Muhammad) tentang roh, katakanlah bahwa roh itu
urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali. (QS. Al-Isra’, 17:85).
فَاِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْلَهُ سَجِدِيِنَ
Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya
roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud. (QS. Al-Hijr, 15:29)
Selanjutnya di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu
diberikan roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan
didalam kandungan. Hadis tersebut selengkapnya berbunyi:
اِنَّ
النَّا سَ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ اُمِّهِ اَرْ بَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً
ثُمَّ يَكُوْنَ عَلَقَةً مِّثْلَ ذَ لِكَ ثُمَّ يَكُوْنَ مُضْغَةً مِّثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يُرْ سَلُ اِلَيْهِ الْمَلَكَ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ
Sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan
ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah),
kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang menempel) pada waktu yang
juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang
telah berbentuk) pada waktu yang juga
empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh
kepadanya (HR. Bukhari-Muslim)
Dua ayat dan satu hadis tersebut diatas selain menginformasikan
bahwa manusia dianugerahi roh oleh Tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada
dasarnya memiliki watak tuduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya demikian
itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.
TOKOH
YANG MENGEMBANGKAN MAHABBAH
Nama lengkapnya ialah Ummu Al-Khair Rabi’ah Binti Ismail
Al-Adawiyah Al-Qisiyah. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H/713 M. Ia hidup
antara tahun 713-801 H.[18]
Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M.[19]
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari
Bashrah, di Irak. Dia berasal dari keluarga sejahtera tetapi hidup sederhana.
Dari kecil dia tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini Ummu Rabi’ah
Al-Adawiyah sangat harum namanya sebagai seorang manusia suci dan sangat
dihormati oleh orang-orang dikotanya.
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh
yang memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham
tersebut.
Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian
dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi
hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material
yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak
mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.[20]
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid
dari kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan
falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu pernyataannya
yang melukiskan falsafah hubb dan syauq yang mewarnai kehidupannya adalah :
ماَعَبَدْ
تُهُ خَوْفًامِنْ نَا رِهِ وَلَاطَمْعًافِىْ جَنَّتِهِ فَاَ كُوْنَ
كَالْأَجِيْرِالسُّوْءِ=عَبَدْ تُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًااِلَيْهِ
Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya,
dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan
menjadikan saya seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk. (Ketahuilah),
bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.
Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhd ialah-sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub:
“ Suatu ketika aku
membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata pada Rabi’ah: ‘Mintalah kepadaku
segala kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab: ‘Aku ini begitu malu meminta hal-hal
duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang
yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng konsep zuhd
yang dimotivasi rasa cinta adalah:
“ Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan
kepadaku, berikanlah kepada musuh-musuhMu. Dan apa pun yang Engkau akan berikan
padaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau
pribadi sudah cukup.”[21]
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran
pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar
biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti
maujud dan rela lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya
milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta
dari-Nya, bukan dariku”.[22]
Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia
berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya: “Demi Allah aku tak merasa sakit,
lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati,
dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang
dapat membuatku bahagia.”[23]
Cinta Rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan,
terlihat dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya
Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah
diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka
jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi Engkau, maka
janganlah Engkau tutup Keindahan Abadi-Mu.[24]
يَاحَبِيْبَ
الْقَلْبِ مَالِى سِوَاكَا
فَارْ
حَمِ الْيَوْمَ مُذْ نِيًا قَدْ اَتَا كَا
يَا رَجَائِى وَرَاحَتِى وَسُرُوْرِيْ
قَدْأَبَى
الْقَلْبُ اَنْ يُحِبَّ سِوَاكَا
Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat
dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan
kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.[25]
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang
ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih
sayang, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah
menganugerahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.[26]
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan
malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan
orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena
pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah
meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan
waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya yang ia cetuskan
melalui gubahan kata yang indah, antara lain:[27]
الهى
اغر قنى فى حبك حتى لا يشغلنى شىء عنك
الهى
انا رت النجوم نا مت الحيون وغلقت الملوك
ابوابها
وخلا كل حبيب يحبيبه وهذا مقا مى
بين
يديك الهى هذا الليل قدادبر وهذاالنحار
قداسفر
فليت شعرى اقبلت منى ليلتى فأ هنا
ام
رد تها على فأ عز نى فو عز تك هذا دأ ب
مااحييتنى
وعز تك لو طر د تنى عن ببك
مابرحت
عنه لما وقع فى قلبى من محبتك
Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang
melenyapkan ingatanku pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang
pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencinta telah
asyik berduaan, sedangkan aku kini bersimpuh di hadirat-Mu. Tuhanku, malam kini
telah berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gundah gulana, apakah
amalku Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yang akan
membuatku nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi
pada-Mu selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang pintu-Mu aku
takkan beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku.
Demikianlah ungkapan cinta Rabi’ah kepada Allah yang telah merasuk
sukmanya sehingga segala aktivitas nya tertuju hanya kepada-Nya. Selanjutnya ia
bersenandung:[28]
ياحبيب
القلب مالى سواكا- فارحم اليوم
مذ
نبا اتاك يارجائ وراحتى وسرورى-
قدابى
القلب ان يحب سواكا
Kasihku, hanya Engkau harap dambaku, Alirkan karunia-Mu bagiku yang
bernoda, Kaulah harapanKu, kedamaianKu, kebahagiaanKu, Hatiku hanya pada-Mu
semata.
Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu
penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena
hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:
Kujadikan Kau
teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar
berbincang dengan temanku
Dengan temanku
tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu
terpancang selalu Kekasih cintaku
Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah
terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:
احبك
حبين حب الهوى وحب لا نك أهل
لذاكا
فاما الذى هو حب الهوى فشغلنى بذ كرك
عمن
سواك وأما الذى انت أهل له فكشفك
لى
اكحجب حت اراكا فلا احمد فى ذاولا ذاكا
لى
وكن لك احمد فى ذا و ذاكا
Aku cinta Kau dengan dengan dua
model cinta
Cinta rindu dan
cinta karena Kau layak dicinta
Adapun cinta
rindu, karena hanya Kau kukenang selalu, bukan selainMu
Adapun cinta
karena Kau layak dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau
nyata
bagiku
Bagiku, tidak ada
puji untuk ini dan itu.
Tapi sekalian puji
hanya bagiMu selalu.
MAHABBAH
DALAM AL-QUR’AN DAN HADIS
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di
dalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa
antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
قُلْ
اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَا تَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Jika
kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu. (QS. Ali ‘Imran, 3: 30)
يَأْ
تِى اللهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْ نَهُ
Allah
akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 54).
Di
dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:
وَلَا
يَزَالُ عَبْدِ ى يَتَقَرَّبُ إِ لَيَّ بِا لنَّوَا فِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ
اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَيَدًا
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi
telinga, mata dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk
bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk
mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh
yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah.
Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri
yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam
telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan
dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
DAFTAR PUSTAKA
As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Cet. II. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002)
Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. I,
(Pekanbaru: Susqa Press, 2001)
Asmal May, Pengembangan Pemikiran Pendidikan Akhlak Tasawuf, (Pekanbaru:
Susqa Press, 2008)
Mahyuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia,
1999), cet. III.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers,
1996)
Siregar, A. Rivay, TASAWUF Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Cet.
II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)
[1] Lihat
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm.96.
[2] Jamil
Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafy, Jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978),
hlm.439
[3] Ibid.
, hlm.349
[4] Ibid.
, hlm.440.
[5]
M. Mujeeb, The Indian Muslim, Chapter Vi, London; 114
[6] Chatib
Quzwen, Mengenal Allah, Cet. 25, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm.
99.
[7] Asmal
May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin, Cet. 1, (Pekanbaru: Susqa Press,
2001, hlm. 160.
[8] syekh
jalaluddin, Sinar I, Hal. 89
[9] Al-Qusyairi al-Naisabury, al-Risalah
al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir, t.t.), hlm.318
[10] Ibid.
, hlm.319
[11] Jamil
Shaliba, op. cit. , hlm.617.
[12] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,1983), cet.III, hlm.70.
[13] Ibid.,
hlm. 70-71
[14] Asywane
Sjukur, Ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 160.
[15] Harun
Nasution, op. cit. , hlm. 63.
[16] IAIN
Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983/1984),
hlm.125.
[17] Ibid.,
hlm.77.
[18] A. J.
Arberry, Pasang-Surut Aliran Tasawuf, (terj.) Bambang Herawan, dari
judul asli Sufism: An Account of The Mystics of Islam, (Bandung: Mizan,
1985), cet.I,hlm.49.Lihat pula Harun Nasutio,loc,cit., hlm.71.
[19] Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet.XI,
hlm.79.
[20] Ibid.,
hlm.71-72
[21] Reynold
A. Nicholson, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London, hlm. 115.
[22]
Aththar, Tadzkirat al-Aulia I, (Mesir: Al-Ma’rifat,t.t.), hlm.66.
[23] A. J.
Arberry, op. cit., hlm.50.
[24]
Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf, (terj.) Arberry, hlm.159. Lihat pula harun
Nasution, loc. cit., hlm.72.
[25] Ibid.,
hlm.74-75
[26] Hamka, op.
cit., hlm.80.
[27] (Ibrahim
Basyuni, Nasy-ah al-Tasawuf al-Islam,Dar al-Fikri, Kairo, 1969; hal. 190